Jumat, 11 November 2011

Jika kamu merasa sebagai generasi penerus bangsa, bacalah ini.

Masih terngiang kata-kata dosen keuangan publik tadi. Negara kita, Indonesia, memang memiliki masalah yang kompleks, apalagi dalam masalah perekonomiannya.

Kurasa, statement itu ada benarnya. Coba kita perhatikan, ke arah mana sih kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah saat ini? Seberapa besar efektifitas dan efisiensinya dalam mempertahankan dan/atau meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi di negara kita? Seberapa besar juga efeknya pada tingkat kesejahteraan masyarakat kita saat ini?

Well, kurasa kebijakan pemerintah akhir-akhir ini boleh dibilang sukses meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara kita, kekuatan Rupiah pun berhasil meningkat bukan? Dari sisi makroekonomi, YA, kurasa negara kita memang TUMBUH.

Tapi, cobalah lihat, dalam kegembiraan kita karena kekuatan rupiah kita mengalami peningkatan yang cukup signifikan, apakah di negeri yang kita tinggali ini, yang kata orang “harusnya” merupakan negeri terkaya di dunia karena sumber daya yang dimilikinya, apakah kesejahteraan masyarakat di negeri kita ini sudah cukup merata? Yakinkah kalian pemerataannya sudah baik? Jika memang iya, memangnya berapa persen orang Indonesia yang kalian katakan sejahtera itu?

Negeri yang kita tinggali saat ini, memang penuh dengan ketimpangan, saudaraku. Coba ingatlah, ketika masyarakat melakukan demo menuntut kenaikan upah sesuai standar yang layak. Kebijakan yang pemerintah lakukan selain menuruti kenaikan upah itu, pastilah dengan menekan harga pangan yang beredar di pasaran. Kalian pasti tahu kan apa sebabnya? Karena, ketika harga pangan naik, maka banyak harga barang-barang lain pun pasti ikut naik, bahkan meskipun itu bukan barang pangan. Mengapa ini terjadi? Oh, kalian tentu mengetahuinya bukan, saudaraku? Ketika harga pangan naik, masyarakat pasti akan memutar otak mereka, bagaimana cara agar tetap bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, minimal kebutuhan sehari-hari mereka alias bahan pangan. Pedagang, dan pengusaha pun akan menaikkan harga barang yang mereka jual, mengingat harga barang bahan produksi juga pasti naik karena terpengaruh kenaikan harga pangan.

Oke, lupakan sejenak euforia menaikkan harga karena harga bahan pangan naik. Coba bayangkan kalian melihat sawah-sawah petani kita yang hijau, subur, dan begitu menyenangkan untuk dilihat ketika padi yang mereka tanam mulai menguning, pertanda siap dipanen.

Sudah kalian bayangkan? Sekarang, bayangkan penampilan petani itu, bayangkan juga rumah yang ia miliki, bayangkan buruh tani yang ia pekerjakan, juga rumah buruh tani yang dipekerjakan itu. Sudahkah? Apa yang terbersit di bayangan pikiran kalian saudaraku? Jika di pikiran kalian terbayang rumah tua berdinding kayu dan bambu yang sudah rapuh termakan usia, maka kalian sepikiran denganku, saudaraku.

Itulah ketimpangan yang terjadi di negeri kita akhir-akhir ini. Bagaimana bisa, seorang petani, yang memiliki lahan, memiliki hasil panen, yang harusnya selalu ikut kaya saat harga pangan naik, tetapi hanya memiliki rumah tua berdinding kayu dan bambu yang sudah rapuh termakan usia? Bagaimana bisa?

Negeri kita memang negeri agraris, negara maritim, dan apalah sebutan lain negara kita. Tetapi, apakah sebutan itu masih pantas melekat di negara kita? Disaat negeri yang kita sebut negeri agraris ini petaninya masih banyak yang berada di garis kemiskinan, disaat negara ini kita sebut negara maritim, banyak ikan-ikan kita yang dicuri, dan kekuatan polisi dan militer kita tak mampu menghentikan pencurian itu.

Jawaban atas ketimpangan yang terjadi di negeri kita itu, salah satunya, menurutku berada pada kebijakan yang telah pemerintah lakukan. Apa yang terjadi ketika petani mengalami gagal panen? Apa yang pemerintah kita lakukan saudaraku? Kebijakan pertama yang dilakukan pastilah melakukan impor sampai kebutuhan pangan dalam negeri kita tercukupi. Lalu, ketika kebutuhan akan pangan telah terpenuhi, adakah langkah lebih lanjut yang pemerintah lakukan? Jika kalian tanyakan itu padaku, jujur saja, aku tak tahu, saudaraku, tapi yang jelas, setelah kejadian-kejadian seperti itu, petani masih tetap dalam garis kesejahteraan yang sama.

Jadi, apa yang bisa kita banggakan dari statement “negara Indonesia adalah negara agraris” kalo buat mencukupi bahan pangan dalam negeri aja kekurangan, bahkan dengan sawah yang sebegitu luasnya di negara kita, negara ini masih impor beras. Coba bayangkan saudaraku, posisikan diri kalian di posisi para petani. Dengan kondisi seperti ini, apa mungkin kemudian petani mau bilang pada anak-anak mereka : “Nak, ketika kau besar nanti, jadilah petani seperti ayah dan/atau ibumu nak”. Bagaimana menurut kalian? Adakah? Kalau sudah begitu, terus siapa nanti yang mau nerusin cita-cita luhur sebagai petani kalo ga bakal ada lagi petani yang mau ngomong seperti itu ke anak-anak mereka?

Kehidupan di negara kita ini memang rumit, saudaraku. Masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang membuat negeri ini terpuruk. Tetapi, makin langka orang-orang yang mau memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada di negeri ini. Karena itu, maukah kalian, generasi penerus bangsa Indonesia, melakukan semua hal yang terbaik untuk negeri kita tercinta ini?

Bukan teriakan-teriakan “kami benci pemerintah !”, “Pemerintah tidak pro rakyat, tidak pernah peduli rakyat!” , dan lain sebagainya yang harus keluar dari diri kita. Semua itu percuma, saudaraku. Tak perlu kita lakukan demo sampai rusuh hingga menewaskan pemuda-pemudi harapan bangsa dengan sia-sia. Apa yang negeri ini lebih butuhkan adalah ACTION saudara-saudaraku.

Melakukan hal yang terbaik bagi negeri ini sesuai dengan bidang keahlian kita masing-masing akan lebih baik dan lebih membuahkan hasil daripada sekedar aksi demo yang seringkali tidak menghasilkan apa-apa saudaraku. Jadi, ayo, kita mulai memperbaiki negeri ini berdasarkan keahlian yang masing-masing telah kita miliki!


Sumber :
poml-hari.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar